Kamis, 17 Februari 2011

BFFE (Be Friends Forever): cara di mana remaja yang menggunakan situs jejaring sosial untuk menjaga persahabatan dan menjelajahi identitas


          Pada kesempatan kali ini kami mengambil tema BFFE (Be Friends Forever): cara di mana remaja yang menggunakan situs jejaring sosial untuk menjaga persahabatan dan menjelajahi identitas.


          Hal utama mengapa kami memilih paper karangan Clarke Barbie, University of Cambridge ini ialah karena saat ini hampir seluruh kalangan masyarakat mengenal dan bergelu di dunia jejaring sosial. Seperti Facebook, Twitter, MSN, Yahoo Messenger, Myspace, dan lain sebagainya.
          Sekitar tahun 2008, Ofcom mengatakan bahwa anak-anak telah mengenal situs jejaring sosial, dan usia mereka mengenal situs jejaring sosial makin lama akan semakin muda. Munculnya penggunaan jaringan sosial ini menjadikan wadah tersendiri bagi para remaja yang sedang mengalami masa-masa transisi dalam hidupnya, baik secara fisik, kognitif atau tingkah laku maupun perubahan dalam setiap pendidikannya.
          Ofcom mengeluarkan laporan ilmiah kuantitatif dan kualitatifnya mengenai jejaring sosial (social network). Penelitian ini membahas perilaku, sikap, dan cara penggunaan jejaring sosial. Sangat bermanfaat untuk para profesional di dunia branding dan mahasiswa yang butuh referensi ilmiah tentang jejaring sosial.
Melalui laporan penelitian ini, dijabarkan kategori pengguna situs jejaring sosial:



  • Alpha Socializers.
Tipikal pengguna yang ramai-ramai hanya pada saat bergabung. Ia cari kenalan kesana kemari, mengkontak temannya teman. Ia merasa lebih aman mencari temannya teman, dibanding langsung berkenalan dengan orang asing sama sekali. Jumlahnya minoritas, pria berusia di bawah 25 tahun.

  • Attention Seekers.
Tipikal pengguna yang suka mencari perhatian. Kadang dengan cara yang ekstrim, seperti memasang foto yang provokatif. Ia sangat sering merubah tampilan profilnya, dari data hingga desain skin. Ia gemar mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya, meski ia hanya mau berinteraksi dengan sebagiannya saja. Biasanya, identitas aslinya adalah seorang yang insecure (tidak nyaman dengan dirinya sendiri) dan aktivitas di dunia online memberinya kesempatan besar sebagai ajang pamer diri. Kebanyakan wanita dari usia remaja hingga 35 tahun.
  • Followers.
Tipikal ikut-ikutan kemana temannya berada. Tujuannya bergabung lebih ke tren. Ia bukan seorang yang aktif mencari-cari teman, seperti tipikal Alpha Socializers dan Attention Seekers. Ini banyak berlaku umum untuk pria dan wanita di banyak jenjang usia.
  • Faithfuls.
Tipikal pengguna yang punya kepercayaan diri tinggi. Ia sudah merasa nyaman dengan kondisi sosial yang dimilikinya sekarang. Jejaring sosial lebih sebagai alat baginya untuk mencari kontak teman-temannya yang lama. Ia cenderung akan menolak orang yang tidak ia kenal untuk dijadikan sebagai daftar teman/kontaknya. Tipikal ini kebanyakan didapat pada mereka yang berusia di atas 20 tahun.
  • Functionals.
Tipikal pengguna yang melihat jejaring sosial dari satu kebutuhan saja, misal: mencari grup musik, mencoba fitur. Ia kurang tertarik untuk berkomunikasi dengan pengguna lain atau meninggalkan komentar. Pertemanan dalam jejaring sosial hanya terbatas pada orang yang ia kenal dan punya kesamaan minat atau hobi. Jumlahnya minoritas, pria di atas 20 tahun.

Selain itu, penelitian ini juga membahas pengguna internet yang tidak berminat bergabung dalam jejaring sosial. Alasan-alasan yang dikemukakan dikategorikan sebagai berikut:
  • Perhatiannya akan masalah keselamatan (safety). Merasa kalau dengan jejaring sosial akan membuat dirinya terekspos, dan membuatnya rawan dijadikan target kejahatan b
    aik secara online ataupun offline.
  • Tidak memiliki pengalaman teknis. Kebanyakan adalah orang berusia di atas 30 tahun yang memang tidak nyaman berhubungan dengan komputer, dan lebih memilih komunikasi tradisional.
  • Kaum penolak intelektual. Merasa kalau jejaring sosial itu hanya membuang waktu yang tidak perlu. Kebanyakan adalah para remaja individualis yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah daripada berhubungan dengan teknologi.
          Penelitian Ofcom ini lebih banyak membahas 2 bagian di atas. Namun, laporannya sangat lengkap karena dijelaskan pula pengenalan dasar, sejarah jejaring sosial, serta keuntungan dan ancaman yang berpotensi muncul di dalamnya. Khusus tentang masalah safety, laporan penelitian ini juga membahas detil tentang ragam penyalahgunaan yang menyangkut isu pribadi.
          Namun, situs jejaring sosial atau Social Networking Site (SNS) ini sebenarnya tidak secara luas dikenal pada saat itu, SNS ini diakui kembali pada tahun 2004 ketika remaja di AS menemukan MySpace (Boyd & Ellison, 2007). Remaja mulai menggunakan SNS dengan antusiasmenya dalam tiga tahun terakhir ini, dengan usia mulai menjadi semakin muda, meskipun pembatasan usia 13 plus (Ofcom, 2008).
          Seiring dengan semakin mudanya usia-usia remaja yang mulai mengenal SNS, seharusnya orang tua lebih bisa berhati-hati mengawasi tingkah laku anak-anaknya. Bahkan banyak orangtua, mungkin diminta oleh kepala berita media yang menunjukkan para 'sisi gelap' dari situs tersebut (Sweney, 2008), takut dampak negatif dari penggunaan anak-anak mereka dari SNS tersebut.
          Penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak dapat menjalin dan mempertahankan persahabatannya melalui jejaring sosial dengan cara yang bahkan tidak kita duga sebelumnya. Seperti komunikasi yang tetap terjalin walaupun kita tidak beratatapan muka secara langsung. Karena kini dipermudah dengan fasilitas seperti chat, yahoo messenger dengan menggunakan webcam yang dapat melihat wajah teman bicara kita walaupun tidak secara langsung.
          Sebagai contoh ketika teman saya SMA, ia mempunyai teman yang sedang duduk di bangku perkuliahan di politeknik bandung, ketika itu iaterbiasa melakukan obrolan-obrolan melalui facebook, lama kelamaan mereka menjadi akrab sebagai adik kakak hingga sekarang. Bahkan mereka sudah bertemu langsung ketika ia PKL di Jakarta, dan masih berkomunikasi hingga saat ini. Itu merupakan salah satu contoh positif dari adanya jejaring sosial, yaitu semakin bertambahnya teman-teman yang kita kenal. Namun pastinya selain dampak positif juga terdapat dampak negative yaitu maraknya kejahatan melalui jejaring sosial, seperti penculikan, pornografi, pemalsuan dan lain sebagainya.
          Menurut sebuah penelitian lain, jejaring sosial bisa mengubah sebuah bangsa menjadi introvert. Sebagian orang dewasa di seluruh dunia menggunakan Facebook, Bebo dan YouTube untuk menghabiskan waktunya dan tidak bercengkrama dengan teman atupun keluarga. Bahkan karena keseringan menggunakan jejaring sosial mereka jarang berbicara melalui televon, menonton televisi, bermain komputer atau bahkan mengirim e-mail.


          Dari penelitian yang dilakukan di UK, kira-kira 53 persen dari 1.600 orang dewasa menggunakan alat tersebut untuk saling berkomunikasi. "UK dipercayai sebagai negara yang kecanduan terhadap Facebook," ujar juru bicara penelitian Mintel seperti dilansir dari Dailymail.
          Penelitian ini juga menyatakan dengan adanya jejaring sosial pertemuan antara teman, sahabat dan kerabat jarang terjadi. Lima jejaring sosialpun mengamini hal tersebut dimana setiap anggotanya selalau mengupdate jejaring sosilannya setiap hari dan terus menemukan teman baru.
          David Smallwood, ahli di bidang kecanduan dari klinik Priory di London menyatakan kecemasannya terhadap kecanduan jejaring sosial ini. "Saya rasa ini akan terus bertambah dan bertambah," ungkapnya. "Kita jadi tidak akan saling berkomunikasi langsung, ini malah akan menciptakan hubungan kerja yang sangat tidak baik," imbuhnya.
          Smallwood menambahkan, masyarakat haruslah lebih berhati-hati terhadap setiap orang karena lewat jejaring sosial bisa saja terjadi kebohongan. Penelitian ini difokuskan pada remaja awal (usia 10-14), masa transisi signifikan pada saat cakrawala anak-anak tumbuh cukup dan teman menjadi lebih penting (Erikson, 1968, Hartup, 2000, Dunn, 2004).

Pentingnya Persahabatan untuk Remaja Awal: BFFE (Be Friends Forever)

         Awal masa remaja itu ialah sebenarnya masa transisi dimana bertahap antara ‘meninggalkan’ keluarga dan lebih berpaling atau lebih banyak menghabiskan waktu berbicara dengan teman dibandingkan dengan kegiatan tunggal lainnya (Csikszentmihalyi, et al, 1977;. Larson, 2002; Larson, et al, 1996). Karena sebenarnya hubungan dengan teman-teman dekat adalah sumber penghiburan diri dan tempat di mana kekhawatiran dan perasaan dapat dinyatakan (Azmitia & Lippman, 1999; Savin-Williams & Berndt, 1990).
          Anak-anak remaja usia ini biasanya lebih sering mencurahkan kepribadian mereka satu sama lain sehingga muncul pemikiran ‘privacy is important’. Sehingga banyak anak yang mengungkapkan dalam penelitian tersebut bahwa mereka lebih berpreferensi untuk menggunakan laptop dibandingkan dengan komputer keluarga. Seperti yang disampaikan oleh seorang anak berusia 11 tahun: “‘it’s private and mum and dad can’t watch what I do’ (Jessica, 11).

Identitas dan Persahabatan

          Munculnya identitas merupakan aspek penting dari perkembangan awal remaja dan pada anak-anak yang sudah masuk ke dalam budaya digital atau internet. Mereka memiliki kesempatan besar untuk mengeksplorasi dunia mereka, menjadi kreatif, bermain dengan identitas dan bereksperimen dengan moral sosial yang berbeda.
          Erikson (1965, 1968, 1977) percaya bahwa sukses transisi dari remaja ke dewasa tergantung pada pembentukan identitas. Pada usia ini seorang anak dapat menentukan diri mereka sendiri melalui penerapan peran sosial (Kroger, 1996). Anak-anak berubah-ubah cara mengubah SNS online mereka, dan profil mereka mirip dengan cara seorang remaja bisa mengubah penampilan mereka.
         Anak-anak dalam penelitian ini mengaku berbohong tentang usia mereka, sebagian karena untuk bergabung dengan SNS mereka harus 13, tapi banyak yang percaya mereka harus 16 (Clarke & Cooke, 2008). “Saya berpikir bahwa mereka memamerkan tentang diri mereka sendiri sehingga orang lain ingin menjadi teman, sehingga mereka akan menjadi populer “. (William, 13). Penelitian telah menunjukkan bahwa remaja berpura-pura menjadi orang lain online (Gross, et al, 2002), tetapi mereka juga berbagi komunikasi emosional (Bargh, et al, 2002; Huffaker & Calvert, 2005). Ketika anak-anak mencapai 11 - 12, identitas gender menjadi penting. Turkle (1995) mengklaim bahwa seksualitas online, yang dapat mencakup menggoda dan bermain dengan peran gender, dapat mulai dari 10 tahun.


Sumber : Web Science, http://media-ide.bajingloncat.com,

Disusun oleh:
Firma Yani (53409751)
Sari Dwi Rahmani (55409480)
----- 2IA15 -----

Tidak ada komentar: